Minggu, 27 Mei 2012

AGRO INDUSTRI AYAM YANG TETAP KAMPUNG


Pada awal tahun 1970an, harga daging dan telur ayam ras (ayam negeri), lebih mahal daripada harga daging dan telur ayam kampung. Sebab populasi ayam ras pedaging maupun petelur masih sangat kecil. Waktu itu menggoreng telur atau memasak daging ayam ras, merupakan sesuatu yang sangat prestisius. Sebab untuk kondisi sosial ekonomi saat itu, makan telur dan daging ayam bagi masayarakat menengah bawah, masih merupakan hal yang sangat mewah. Lauk utama di warung tegal (warteg), saat itu hanyalah tahu dan tempe. Kalau saja ada ikan, maka bisa dipastikan ikan laut atau tambak air payau. Misalnya kembung atau bandeng. Sekarang, harga telur dan daging ayam kampung (ayam bukan ras = ayam buras); jauh lebih mahal dibanding dengan harga telur dan daging ayam ras. Kalau harga ayam ras per ekor @ 1,5 kg. Rp 15.000,- maka harga ayam kampung dengan bobot sama sudah sekitar Rp 25.000,- di tingkat konsumen. Kalau harga telur ayam ras di tingkat konsumen Rp 6.000,- per kg. isi 18  butir (bobot @ 55 gram) atau per butir Rp 333,- maka harga telur ayam kampung mencapai Rp 1.100,- per butir. Tingginya harga telur dan ayam kampung hidup, telah mengilhami para petarnak untuk mengambil jalan pintas.


Cara untuk memacu produktivitas ayam kampung adalah, dengan menerapkan teknologi peternakan ayam ras, baik broiller maupun petelur. Ada yang menerapkan teknologi ini secara penuh, ada pula yang hanya sebagian. Pada produksi ayam pedaging, peternakan dibagi menjadi tiga. Pertama pemeliharaan induk (produksi telur) dalam kandang ren dan penetasan (dengan mesin tetas) serta pemeliharaan DOC dengan indukan (pemanas). Kedua, Pemeliharaan anak ayam pasca indukan, sd. umur 2 bulan. Ketiga, pembesaran ayam konsumsi dan calon induk. Tiga tahap pemeliharaan inilah yang dilakukan sepenuhnya atau sebagian dengan teknologi dan pakan broiller. Pada produksi telur konsumsi, induk betina ayam kampung dipelihara dalam kandang batery (1 ekor induk 1 kandang seukuran tubuhnya), dan diberi pakan layer (pakan khusus petelur). Hasilnya, berupa telur ayam kampung, tetapi produktivitasnya sangat tinggi. Namun pola pemeliharaan ayam ras yang diterapkan pada ayam kampung ini, telah menurunkan harga ayam hidupmaupun telurnya. Dengan penerapan teknologi ayam ras 100%, harga ayam potong dan telurnya hanya sedikit diatas harga daging dan telur ayam ras. Dengan penerapan sebagian teknologi ayam ras, maka harga produknya bisa lebih tinggilagi, namun tetap di bawah harga produk ayam kampung yang dipelihara secara kampung 100%.
Yang disebut sebagai dipelihara secara kampung 100%, sebenarnya hanya menyangkut pakan dan pembesaran dengan cara diumbar dalam kandang ren yang cukup luas. Sementara pembenihannya tetap bisa menggunakan teknologi broiller. Sebab pembenihan dengan mengandalkan cara alami, tidak akan pernah mencapai populasi yang diinginkan oleh pasar. Sementara pembesaran dengan menggunakan poer dan dengan cara dikandangkan, akan menurunkan nilai daging ayam tersebut. Para pedagang ayam, pasti segera tahu apakah ayam kampung tersebut dipelihara secara alami denganpakan alami atau dengan pakan poer. Meskipun pada pembenihan bisa menggunakan teknologi broiller, namun induk betina tetap tidak boleh diberi pakan layer. Lebih-lebih diberi egg stimulant. Hingga pakan untuk induk jantan maupun betinanya hanyalah dedak, jagung, gabah, ampas tahu, hijauan dan untuk protein hewaninya bisa cacing, bekicot, belalang dll. atau tepung ikan. Pemberian pakan layer, lebih-lebih dengan egg stimulant, memang akan memacu produktivitas telur. Namun anak ayam yang dihasilkan akan benyak yang cacat atau daya tetasnya rendah. Induk-induk penghasil telur tetas ini dipelihara dalam kandang ren (sebagian beratap sebagian terbuka) dengan luas total minimal 3 X 6 m, dengan bagian yang beratap 2 m. Satu petak kandang berisi maksimal 9 induk betina dan 1 jago. Bagian yang beratap diberi tempat nangkring dan kotak untuk bertelur. Konstruksi kandang dari kayu dan bambu.

Dengan pakan bernutrisi cukup, produksi telur minimal 30 % per hari dari total populasi induk betina. Dengan jumlah induk 100 ekor, tiap hari harus ada 30 butir telur. Dari 30 butir telur tadi, yang memenuhi syarat untuk ditetaskan hanya sekitar 80 %. Umur telur untuk masuk ke mesin tetas, paling lama 1 minggu. Kapasitas mesin tetas berenergi listrik atau minyak tanah, disesuaikan dengan jumlah telur yang akan ditetaskan. Dengan produksi telur 30 butir dan layak tetas 80%, maka diperlukan 4 mesin tetas kapasitas 160 butir, atau 8 mesin tetas berkapasitas 80 butir. Kalau mesin tetas berenergi listrik PLN, diperlukan generator untuk cadangan apabila listrik PLN padam. Dari 160 butir telur per minggu atau 640 per bulan, akan dihasilkan minimal 125 ekor DOC per minggu atau 500  ekor per bulan. Untuk itu diperlukan kandang indukan berpemanas dengan dengan kapasitas 500 ekor DOC. Sebab kandang indukan akan diperlukan untuk jangka waktu 1 bulan. Indukan bisa berupa lampu minyak atau kompor batubara yang biasa digunakan dalam pemeliharaan broiller. Sampai dengan umur 1 minggu, anak ayam bisa diberi pakan starter buatan pabrik. Namun secara bertahap mereka harus diberi dedak, menir dan bahan pakan alami lainnya.
Setelah umur 2 bulan, anak ayam harus mulai ditaruh dalam lahan umbaran. Luas lahan umbaran minimal 500 m2 untuk 100 ekor ayam. Berarti dengan produksi 500 ekor per bulan dan dengan umur panen 6 bulan, maka populasi total ayam umbaran adalah 2.000 ekor. Luas lahan umbaran yang diperlukan, minimal  1 hektar. Hingga idealnya, pemeliharaan ayam kampung murni umbaran dengan pakan alami, digabung dengan penanaman jati, albisia dll. Pakan untuk ayam umbaran ini harus 100 % alami. Prosentase terbesar dari pakan alami ini adalah gabah dan jagung.Untuk menjaga agar ketersediaan pakan terjamin, maka harus ada gudang dan cadangan dana untuk stok pakan. Karena biasanya kekosongan jagung dan gabah akan terjadisekitar 3 bulan, maka stok pakan yang diperlukan untuk 2.000 ekor ayam mencapai 13,5 ton gabah atau jagung pipilan. Dengan harga sekitar Rp 1.000,- per kg. maka dana cadangan pakan yang diperlukan untuk jangka waktu 3 bulan mencapai Rp 13.500.000,- atau Rp 27.000.000,- untuk jangka waktu 6 bulan. Dengan investasi dan modal kerja sekitar Rp 30.000.000,- dana cadangan pakan Rp 27.000.000,- dan dana cadangan lukuiditas Rp 13.000.000,- maka total modal yang diperlukan untuk pemeliharaan ayam kampung skala induk 100 ekor adalah Rp 70.000.000,-

Persiapan yang diperlukan untuk "proyek" demikian akan memakan waktu paling cepat 3 bulan. Yakni mencari lahan, membangun kandang, mengebor sumur, mencari bibit ayam dll. Hingga operasi pemeliharaan baru akan berjalan paling cepat pada bulan IV. Sekitar 2 bulan kemudian, produksi telur baru akan normal. Hingga penetasan baru akan berlangsung pada bulan VI. Hingga praktis, penjualan panen perdana ayam kampung umur 6 bulan, baru akan terjadi setelah 1 tahun semenjak kegiatan awal dimulai. Dengan mortalitas 5 %, maka hasil ayam umur 6 bulan yang bisa dijual sekitar 475 ekor per bulan setelah satu tahun sejak start awal. Harga ayam kampung demikian, sekitar Rp 18.000,- per ekor  hingga pendapatan kotor per bulan dari penjualan panen ayam Rp 8.550.000,- Pendapatan kotor ini belum memperhitungkan pendapatan dari penjualan telur afkir yang tidak layak tetas. Biaya pakan, tenaga kerja, listrik, penyusutan kandang dll. per bulan sekitar Rp 6.500.000,- Hingga pendapatan bersih (keuntungan) per bulan Rp 2.000.000,- atau Rp 24.000.000,- per tahun atau 34% dari total modal. Angka ini masih cukup baik kalau kita perhitungkan suku bunga pinjaman komersial sebesar 20% per tahun.

Dengan menggabung peternakan ayam kampung umbaran ini pada lahan tanaman jati, albisia atau kebun buah, maka sebenarnya banyak hal bisa dihemat. Misalnya tenaga kerja, sewa lahan, bangunan, listrik dan air. Selain itu, kotoran ayam juga akan menjadi pupuk pada tanaman keras pada lahan tersebut. Hal-hal yang perlu diperhitungkan dalam peternakan ayam kampung demikian adalah, lahan umbaran harus bersih dari karet gelang, plastik dan pecahan beling (botol, gelas dll) yang akan membahayakan keselamatan ayam. Pemeliharaan ayam kampung dengan teknologi broiler 100%, bisa menghasilkan ayam konsumsi bobot 6 sd. 7 ons pada umur 70 hari. Produk ini banyak diserap oleh restoran padang untuk bahan ayam pop. Sementara ayam goreng Ny. Suharti dll. mutlak mensyaratkan ayam kampung dengan sistem umbaran dan dengan pakan alami. Mereka akan segera tahu apakah ayam itu diumbar atau tidak dan diberi pakan poer atau gabah dan jagung. Sebenarnya beberapa kali Singapura dan Hongkong minta ayam kampung dari Indonesia. tetapi jangankan mereka, Jakarta pun sampai dengan saat ini masih kekurangan suplai ayam kampung umbaran. Bahkan akhir-akhir ini, Jepang juga menjajaki kemungkinan mendatangkan ayam kampung dari Indonesia. Persyaratan mereka lebih ketat. Benih mereka tentukan dan umbaran harus 100 %. Untuk itu mereka akan mengirim supervisor. Namun peternak Indonesia tampaknya kurang merespon hal-hal demikian ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar