Kamis, 17 Mei 2012

DUNIA PERTANIAN DITITIK NADHIR




Ada sebuah ironi ketika bangsa ini dikenal sebagai negara agraris,ternyata tidak berbanding lurus dengan minat calon mahasiswa pada studi pertanian. Setidaknya data pada hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2008 menunjukkan masih terdapat 2.894 kursi kosong pada program studi bidang pertanian di 47 perguruan tinggi negeri. Sedangkan pada tahun 2009,data dari panitia SNMPTN trend tersebut terus berlangsung dengan banyaknya bangku kosong yang masih tersedia di 42 PTN yang menyebutkan studi pertanian salah satu yang tidak populer. Bisa dibayangkan ketika kebutuhan pangan kita sudah tidak ada lagi yang mengurus dan mengembangkannya. Sementara negara-negara lain berlomba-lomba mengembangkan bidang pertanian sebagai bargaining ekonomi dalam era globalisasi.
Tidak dapat disangkal sampai hari ini sektor pertanian masih merupakan sektor andalan bagi perekonomian Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto, penyerapan tenaga kerja, penerimaan devisa, pengurangan kemiskinan dan ketahanan pangan. Era kejayaan sektor pertanian menuai berkah pada zaman swasembada pangan pada tahun 1984. Gelar sarjana pertanian begitu bergengsi. Namun, memasuki lompatan jauh ke era industrialisasi,sektor pertanian ikut tenggelam digilas laju pembangunan pabrik-pabrik yang menggusur lahan-lahan pertanian. Sektor pertanian mau tidak mau terkena stigma sebagai pekerjaan orang miskin. Image-nya lekat dengan pekerjaan yang tidak memiliki prospek ke depan.
Konstuksi paradigma seperti ini tidaklah muncul dari ruang kosong. Kita turut mendekonstruksi dan memberi simbol-simbol sektor pertanian menjadi tidak menarik. Padahal, sektor pertanian merupakan penyedia bahan baku bagi industri,selain itu produk pertanian merupakan kontributor komoditas ekspor yang cukup penting dan penyedia lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran. Faktor pentingnya sektor pertanian dikalahkan oleh derap laju indutri yang di satu sisi juga menunjukkan perkembangan yang signifikan.Sektor industri telah berhasil meningkatkan investasi,mendongkrak pertumbuhan ekonomi,peningkatan pendapatan per kapita dan kesempatan kerja yang lebih bervariasi. Meskipun demikian, untuk negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah bertani,maka fokus pada pengembangan pertanian adalah harga mati.
Salah satu dari sekian banyak permasalahan yang menyandera sektor pertanian adalah SDM yang minim. Perguruan tinggi sebagai pencetak ahli-ahli pertanian menghadapi situasi dimana fakultas pertanian tidak diminati oleh calon mahasiswa. Artinya, kita akan menghadapi krisis SDM bidang pertanian di masa datang. Sementara negara-negara lain sudah mengembangkan variasi-variasi produk pertaniannya. Kita terbenam dalam lumpur paradigma yang menganggap untuk bisa mengembangkan pertanian tidak perlu kuliah di perguruan tinggi.
Ada beberapa faktor penyebab untuk bisa menjawab kenapa program studi pertanian sepi peminat. Pertama, adanya image negatif yang mengaitkan pertanian adalah pekerjaan yang tidak memiliki prospek cerah untuk menjamin masa depan. Mulai dari keluarga sebagai pranata terkecil,orang tua mensosialisasikan anak-anak harus menjadi dokter, pilot, polisi dan bidang kerja lain yang non-pertanian. Pilihan bertalian dengan ekspektasi. Memilih jalan menjadi sarjana pertanian dianggap sama dengan memilih mendapat status kemiskinan dan pengangguran. Kedua,sektor non pertanian lebih menjanjikan lapangan pekerjaan dan jaminan kesejahteraan yang lebih bervariasi. Hal ini bisa kita lihat dengan mata telanjang di kolom lowongan kerja di berbagai media massa yang sangat jarang membutuhkan lulusan dari fakultas pertanian.Pada tahun 2008, ada 940 perusahaan/jasa membutuhkan tenaga kerja, tetapi hanya 3 (tiga) perusahaan atau sekitar 0,31 persen dari total perusahaan/jasa yang membutuhkan tenaga kerja di bidang sarjana pertanian.
Ketiga,pengembangan sektor pertanian oleh pemerintah berjalan setengah hati.Pemerintah lebih memihak pada sektor industri yang dianggap lebih cepat memacu pertumbuhan ekonomi. Selain itu, polarisasi pembangunan kota dan desa juga turut menyumbang makin ditinggalkannya sektor pertanian. Kota identik dengan kemakmuran dengan sektor industrinya.Sedangkan desa identik dengan daerah miskin yang tidak punya masa depan bagi pencari kerja.Padahal jika sektor ini berkembang dan didukung penuh pemerintah,maka akan menarik gerbong minat calon mahasiswa dan lulusan pertanian untuk bekerja di sektor pertanian.
Keempat,peran universitas yang belum mampu melakukan transformasi dalam pengembangan sektor pertanian. Lulusan-lulusan pertanian cenderung memiliki kemampuan yang homogen hanya di seputar penguasaan teori. Menurut hasil Survey Subdirektorat Kurikulum dan Program Studi yang dilansir tahun 2005, seorang lulusan sarjana pertanian setidaknya dituntut memiliki 8 kompetensi penting, yakni kompetensi umum di sektor pertanian, mengerti dan menguasai kearifan lokal daerah yang menjadi domisili ia berkarir, piawai memanfaatkan ICT, memiliki kemampuan penyelesaian masalah yang baik, berjiwa enterpreneur, memiliki pengetahuan bisnis, komunikatif dan mampu bekerja sama serta memiliki jiwa leadership.
Melihat peta permasalahan di atas kita pertama-tama melihat bagaimana arti penting sektor pertanian bagi pembangunan bangsa. Untuk itu ada beberapa langkah yang bisa kita rumuskan bersama untuk mengatasi minimnya peminat studi pertanian. Hal yang sangat mendesak yang perlu dilakukan adalah dekonstruksi stigma pertanian sebagai pekerjaan yang identik dengan kemiskinan. Kita ingin mendengar anak-anak berlomba mengangkat tangan ketika ditanya siapa yang ingin jadi sarjana pertanian. Kita ingin melihat kursi-kursi perguruan tinggi selalu penuh dengan antusiasme. Memulainya dari citra pertanian dan lulusan-lulusannya yang berhasil membuat terobosan-terobosan dalam bidang pertanian.Pertanyaannya mungkin sama dengan kenapa profesi dokter begitu diminati,kenapa pilot menjadi impian mayoritas anak-anak.Ternyata pekerjaan-pekerjaan seperti dokter mampu menjamin kesejahteraan dan akhirnya mendapat prestise di mata publik.Sedangkan pertanian harus bisa membuktikan diri bahwa lulusannya tidak melulu bekerja dengan cangkul,sepetak sawah dan pola-pola tradisional lainnya.Pembuktian dimulai dari perguruan tinggi yang mengembangkan pertanian menjadi profesi yang menjamin kesejahteraan. Semisal memfokuskan pada agroteknologi/agro- ekoteknologi dan agribisnis. Penting kiranya merubah kurikulum untuk menarik minat dan menyesuaikan dengan kebutuhan di masa depan.Memasukkan kewirausahaan dalam kurikulum juga menarik,agar lulusan pertanian tidak hanya menghasilkan tetapi bisa juga menjual hasil produknya. Generasi muda akan tertarik jika usaha yang dilakukan menjanjikan potensi yang besar.
Dukungan dari pemerintah sangat vital.Mengembalikan sektor pertanian sebagai primadona menjadi keharusan.Pemerintah memiliki kekuasaan dan sumberdaya untuk mengembangkan pertanian melalui departemen pertanian.Intinya, jika pertanian didukung perkembanganya oleh pemerintah. Hal ini akan ditangkap calon mahasiswa sebagai sebuah peluang.Memberi perhargaan (reward) bagi peneliti-peneliti akan sangat membantu sektor ini diminati.Dukungan beasiswa terhadap riset-riset mahasiswa,penyediaan lapangan kerja bagi lulusan pertanian bisa mendongkrak citra yang telah lama pudar.
Kiranya upaya serius menjadikan pertanian sebagai motor pembangunan juga harus diselaraskan dengan faktor pendukungnya.Jika tidak,maka bisa dibayangkan anak-anak yang berasal dari keluarga petani tidak lagi punya cita-cita mengembangkan sektor pertanian negerinya. Mereka saja sudah kehilangan,apalagi anak-anak dari keluarga non pertanian?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar