Ada sebuah ironi ketika bangsa ini
dikenal sebagai negara agraris,ternyata tidak berbanding lurus dengan minat
calon mahasiswa pada studi pertanian. Setidaknya data pada hasil Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2008 menunjukkan masih
terdapat 2.894 kursi kosong pada program studi bidang pertanian di 47 perguruan
tinggi negeri. Sedangkan pada tahun 2009,data dari panitia SNMPTN trend
tersebut terus berlangsung dengan banyaknya bangku kosong yang masih tersedia
di 42 PTN yang menyebutkan studi pertanian salah satu yang tidak populer. Bisa
dibayangkan ketika kebutuhan pangan kita sudah tidak ada lagi yang mengurus dan
mengembangkannya. Sementara negara-negara lain berlomba-lomba mengembangkan
bidang pertanian sebagai bargaining ekonomi dalam era globalisasi.
Tidak dapat disangkal sampai hari
ini sektor pertanian masih merupakan sektor andalan bagi perekonomian Indonesia. Hal
ini bisa dilihat dari sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto, penyerapan tenaga
kerja, penerimaan devisa, pengurangan kemiskinan dan ketahanan pangan. Era
kejayaan sektor pertanian menuai berkah pada zaman swasembada pangan pada tahun
1984. Gelar sarjana pertanian begitu bergengsi. Namun, memasuki lompatan jauh
ke era industrialisasi,sektor pertanian ikut tenggelam digilas laju pembangunan
pabrik-pabrik yang menggusur lahan-lahan pertanian. Sektor pertanian mau tidak
mau terkena stigma sebagai pekerjaan orang miskin. Image-nya lekat
dengan pekerjaan yang tidak memiliki prospek ke depan.
Konstuksi paradigma seperti ini
tidaklah muncul dari ruang kosong. Kita turut mendekonstruksi dan memberi
simbol-simbol sektor pertanian menjadi tidak menarik. Padahal, sektor pertanian
merupakan penyedia bahan baku
bagi industri,selain itu produk pertanian merupakan kontributor komoditas
ekspor yang cukup penting dan penyedia lapangan kerja untuk mengurangi
pengangguran. Faktor pentingnya sektor pertanian dikalahkan oleh derap laju
indutri yang di satu sisi juga menunjukkan perkembangan yang signifikan.Sektor
industri telah berhasil meningkatkan investasi,mendongkrak pertumbuhan
ekonomi,peningkatan pendapatan per kapita dan kesempatan kerja yang lebih
bervariasi. Meskipun demikian, untuk negara Indonesia yang mayoritas
penduduknya adalah bertani,maka fokus pada pengembangan pertanian adalah harga
mati.
Salah satu dari sekian banyak
permasalahan yang menyandera sektor pertanian adalah SDM yang minim. Perguruan
tinggi sebagai pencetak ahli-ahli pertanian menghadapi situasi dimana fakultas
pertanian tidak diminati oleh calon mahasiswa. Artinya, kita akan menghadapi
krisis SDM bidang pertanian di masa datang. Sementara negara-negara lain sudah
mengembangkan variasi-variasi produk pertaniannya. Kita terbenam dalam lumpur
paradigma yang menganggap untuk bisa mengembangkan pertanian tidak perlu kuliah
di perguruan tinggi.
Ada beberapa faktor penyebab untuk bisa
menjawab kenapa program studi pertanian sepi peminat. Pertama, adanya image
negatif yang mengaitkan pertanian adalah pekerjaan yang tidak memiliki prospek
cerah untuk menjamin masa depan. Mulai dari keluarga sebagai pranata
terkecil,orang tua mensosialisasikan anak-anak harus menjadi dokter, pilot,
polisi dan bidang kerja lain yang non-pertanian. Pilihan bertalian dengan
ekspektasi. Memilih jalan menjadi sarjana pertanian dianggap sama dengan
memilih mendapat status kemiskinan dan pengangguran. Kedua,sektor non pertanian
lebih menjanjikan lapangan pekerjaan dan jaminan kesejahteraan yang lebih
bervariasi. Hal ini bisa kita lihat dengan mata telanjang di kolom lowongan
kerja di berbagai media massa
yang sangat jarang membutuhkan lulusan dari fakultas pertanian.Pada tahun 2008,
ada 940 perusahaan/jasa membutuhkan tenaga kerja, tetapi hanya 3 (tiga)
perusahaan atau sekitar 0,31 persen dari total perusahaan/jasa yang membutuhkan
tenaga kerja di bidang sarjana pertanian.
Ketiga,pengembangan sektor pertanian
oleh pemerintah berjalan setengah hati.Pemerintah lebih memihak pada sektor
industri yang dianggap lebih cepat memacu pertumbuhan ekonomi. Selain itu,
polarisasi pembangunan kota
dan desa juga turut menyumbang makin ditinggalkannya sektor pertanian. Kota identik dengan
kemakmuran dengan sektor industrinya.Sedangkan desa identik dengan daerah
miskin yang tidak punya masa depan bagi pencari kerja.Padahal jika sektor ini
berkembang dan didukung penuh pemerintah,maka akan menarik gerbong minat calon
mahasiswa dan lulusan pertanian untuk bekerja di sektor pertanian.
Keempat,peran universitas yang belum
mampu melakukan transformasi dalam pengembangan sektor pertanian. Lulusan-lulusan
pertanian cenderung memiliki kemampuan yang homogen hanya di seputar penguasaan
teori. Menurut hasil Survey Subdirektorat Kurikulum
dan Program Studi yang dilansir tahun 2005, seorang lulusan sarjana pertanian
setidaknya dituntut memiliki 8 kompetensi penting, yakni kompetensi umum di
sektor pertanian, mengerti dan menguasai kearifan lokal daerah yang menjadi
domisili ia berkarir, piawai memanfaatkan ICT, memiliki kemampuan
penyelesaian masalah yang baik, berjiwa enterpreneur, memiliki pengetahuan
bisnis, komunikatif dan mampu bekerja sama serta memiliki jiwa leadership.
Melihat peta
permasalahan di atas kita pertama-tama melihat bagaimana arti penting sektor
pertanian bagi pembangunan bangsa. Untuk itu ada beberapa langkah yang bisa
kita rumuskan bersama untuk mengatasi minimnya peminat studi pertanian. Hal
yang sangat mendesak yang perlu dilakukan adalah dekonstruksi stigma pertanian
sebagai pekerjaan yang identik dengan kemiskinan. Kita ingin mendengar
anak-anak berlomba mengangkat tangan ketika ditanya siapa yang ingin jadi
sarjana pertanian. Kita ingin melihat kursi-kursi perguruan tinggi selalu penuh
dengan antusiasme. Memulainya dari citra pertanian dan lulusan-lulusannya yang
berhasil membuat terobosan-terobosan dalam bidang pertanian.Pertanyaannya
mungkin sama dengan kenapa profesi dokter begitu diminati,kenapa pilot menjadi
impian mayoritas anak-anak.Ternyata pekerjaan-pekerjaan seperti dokter mampu
menjamin kesejahteraan dan akhirnya mendapat prestise di mata
publik.Sedangkan pertanian harus bisa membuktikan diri bahwa lulusannya tidak
melulu bekerja dengan cangkul,sepetak sawah dan pola-pola tradisional
lainnya.Pembuktian dimulai dari perguruan tinggi yang mengembangkan pertanian
menjadi profesi yang menjamin kesejahteraan. Semisal memfokuskan pada agroteknologi/agro- ekoteknologi dan
agribisnis. Penting kiranya merubah kurikulum untuk menarik minat dan
menyesuaikan dengan kebutuhan di masa depan.Memasukkan kewirausahaan dalam
kurikulum juga menarik,agar lulusan pertanian tidak hanya menghasilkan tetapi
bisa juga menjual hasil produknya. Generasi muda akan tertarik jika usaha yang
dilakukan menjanjikan potensi yang besar.
Dukungan dari pemerintah sangat
vital.Mengembalikan sektor pertanian sebagai primadona menjadi
keharusan.Pemerintah memiliki kekuasaan dan sumberdaya untuk mengembangkan
pertanian melalui departemen pertanian.Intinya, jika pertanian didukung
perkembanganya oleh pemerintah. Hal ini akan ditangkap calon mahasiswa sebagai
sebuah peluang.Memberi perhargaan (reward) bagi peneliti-peneliti akan
sangat membantu sektor ini diminati.Dukungan beasiswa terhadap riset-riset
mahasiswa,penyediaan lapangan kerja bagi lulusan pertanian bisa mendongkrak
citra yang telah lama pudar.
Kiranya upaya serius menjadikan
pertanian sebagai motor pembangunan juga harus diselaraskan dengan faktor
pendukungnya.Jika tidak,maka bisa dibayangkan anak-anak yang berasal dari
keluarga petani tidak lagi punya cita-cita mengembangkan sektor pertanian
negerinya. Mereka saja sudah kehilangan,apalagi anak-anak dari keluarga non
pertanian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar