Pada awal tahun 1970an, harga daging dan telur ayam ras (ayam negeri), lebih
mahal daripada harga daging dan telur ayam kampung. Sebab populasi ayam ras
pedaging maupun petelur masih sangat kecil. Waktu itu menggoreng telur atau
memasak daging ayam ras, merupakan sesuatu yang sangat prestisius. Sebab untuk
kondisi sosial ekonomi saat itu, makan telur dan daging ayam bagi masayarakat
menengah bawah, masih merupakan hal yang sangat mewah. Lauk utama di warung tegal
(warteg), saat itu hanyalah tahu dan tempe. Kalau saja ada ikan, maka bisa
dipastikan ikan laut atau tambak air payau. Misalnya kembung atau bandeng.
Sekarang, harga telur dan daging ayam kampung (ayam bukan ras = ayam buras);
jauh lebih mahal dibanding dengan harga telur dan daging ayam ras. Kalau harga
ayam ras per ekor @ 1,5 kg. Rp 15.000,- maka harga ayam kampung dengan bobot
sama sudah sekitar Rp 25.000,- di tingkat konsumen. Kalau harga telur ayam ras
di tingkat konsumen Rp 6.000,- per kg. isi 18 butir (bobot @ 55 gram)
atau per butir Rp 333,- maka harga telur ayam kampung mencapai Rp 1.100,- per
butir. Tingginya harga telur dan ayam kampung hidup, telah mengilhami para
petarnak untuk mengambil jalan pintas.